Rabu, 20 November 2019

Festival HAM Jember



Hari ini Jember mjd tuan rumah dlm agenda yg d beri judul "Festival HAM" dan terdiri dari beberapa sesi diskusi. Tepatnya pd pukul 13.30 Ada satu tema menarik yg mjd perhatian sy yakni : Strategi Pencegahan Intoleransi, radikalisme dan kekerasan Ekstrimisme di Dunia Pendidikan dan Media Sosial.
Memang, pd saat ini, wacana radikalisme ramai diperbincangkan. Yg entah mengapa, radikalisme selalu d indikasikan dgn aktivitas ngaji, dakwah, ceramah, cara berpakaian syar'i dan Islam politik pdhl kecenderungan radikal diakui tak hanya krn urusan agama namun juga krn ketidak puasan masyarakat atas kinerja pemerintah dlm mengatur negara baik dlm urusan ekonomi maupun hukum. Namun agama rupanya lebih renyah dibahas ketimbang lemahnya kualitas pemerintah. Dalam pleno 4 ini Agus Muhammad sebagai salah seorang pembicara menyampaikan ada suatu konsep agama yg dianut oleh kaum radikal yaitu konsep Al wala' wal bara' yg bagi mereka Al wala' berarti menanamkan kesetiaan hanya kepada kelompok nya, dan Al bara' artinya berlepas tangan dr yg selain kelompok nya bahkan sikap Al bara' ini menunjukkan permusuhan.
Pembaca yg budiman, Al wala'wal bara' pd hakikatnya termasuk dlm pembahasan tauhid dn iman bahkan disebut sebagai syarat beriman. Dlm syari'at, Al wala brrt memberikan pemuliaan penghormatan dan selalu ingin bersama yang dicintainya baik lahir maupun batin dn Al bara' maksudnya menjauhkan diri dn memusuhi kemaksiatan dn segala bentuk kemusyrikan.
عن أنس رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان: من كان الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، ومن أحب عبدًا لا يحبه إلا لله، ومن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله كما يكره أن يلقى في النار))

Anas r.a berkata: Rasul saw bersabda: 3 hal yg apabila engkau berada d dlm nya, maka engkau akan menemukan manisnya iman; yaitu apabila Allah dn Rasul Nya lebih ia cintai dibanding siapapun, ia mencintai org yg tdk mencintai kecuali Allah, dan ia benci kembali kpd ke kufuran setelah Allah selamatkan nya dr kekufuran tsb sebagaimana kebenciannya bila kelak ia bertemu Allah d neraka (dikutip dr kitab Shahih Bukhari)

İndikasi selanjutnya bahwa kaum radikal adlh kaum yg mencita-citakan terbentuknya pemerintahan Islam atau yg lebih masyhur disebut Khilafah. Mereka menentang sistem pemerintahan yg telah sah di Indonesia, anti NKRI dn keberagaman. Tentu hal ini tdk dpt diterima krn besarnya keinginan yg mustahil terwujud dgn keberagaman yg tinggi di Indonesia serta akan menimbulkan kecemburuan sosial bila hanya Islam yg berkuasa. Emmm... Sy ingin berikan satu referensi yg bisa d cari sndr oleh pembaca yaitu sebuah buku karya Yahudis bernama Max İ Diamond yg berjudul "The land of three religions and one bed room" Buku ini bercerita tentang kehidupan pd masa kejayaan khilafah Ummayah di Granada Andalusia Spanyol, yg terkenal dgn kompleks istana dn benteng Al Hambra. Dmn pada saat itu, meski non muslim minoritas dn kaum Muslim yg memimpin, namun mereka merasakan kesejahteraan dn keadilan yg setara. Sama-sama patuh d bawah kepemimpinan kaum Muslim. Dn bila khilafah merupakan ancaman bagi NKRI, mengapa isu ini tak sebanding dgn menjamurnya penguasaan asing terhadap sumber daya alam Indonesia? Mengapa bukan para koruptor yg mjd ancaman keberlangsungan hidup damai di Indonesia? Mengapa bukan kebijakan pemerintah yg mencekik rakyat yg mjd ancaman hak hidup sejahtera bagi rakyat Indonesia? Mengapa harus ajaran Islam yg mjd ancaman? Pdhl Syaikh Al jaziry dlm kitabnya Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah mengatakan
 «الفقه على المذاهب الأربعة»: (اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين....)
Telah sepakat imam madzhab yg empat bahwa imamah (khilafah) adlh wajib, dst...

Dmn letak terancam nya Indonesia bila syariat Islam ditegakkan? Dmn letak terciptanya keamanan dn kedamaian Indonesia bila kedzaliman penguasa tak berhenti, bila kebijakan pro asing tak berhenti, bila persentase ekonomi rakyat tak meningkat, bila koruptor mendekam d lapas yg ber AC, bila ini dan itu...

Satu lagi, ini festival HAM. Yg berarti memberikan ruang bebas bagi siapa saja utk berpendapat kan..
HAM selalu d perjuangkan utk membela feminisme atau LG 8T, tapi ternyata tak memberi ruang bagi ajaran Islam dn kaum Muslim yg menyiarkan nya. Oh,, jd Hak Asasi itu memang berlaku bagi Manusia tertentu saja yaa...

Minggu, 08 September 2019

Teror Akademika Untuk Sumbangsih Sampah Indonesia


Oleh: Nida Husnia Ramadhani
Bagi seorang Hikma Sanggala, DO tanpa alasan yang dijatuhkan padanya di IAIN Kendari bukanlah apa-apa. Belum serupa dengan perlawanan dakwah Rasul dan para sahabat yang saat itu juga mengkritisi pemeritahan dengan sistem jahil dimana riba dan kecurangan dalam berjual-beli sudah melekat erat dalam kehidupan mereka. Hikma Sanggala bukan mahasiswa seperti kebanyakan, ia bekerja paruh waktu sebagai kuli, berdakwah, dan menjalani aktivitas kuliah, itupun sempat berprestasi besar, mendapat piagam penghargaan sebagai mahasiswa dengan IPK terbaik se-fakultas. Lalu... menerima sanksi DO karena diduga terafiliasi gerakan dan pemikiran radikal serta sesat, tanpa bukti!
Apa salah Hikma? Menjadi bagian dari pendakwah, menyebarluaskan ajaran Islam yang benar. Terlebih ia tak punya catatan kriminal, malah pantas jadi mahasiswa teladan dengan kepiawaiannya membagi waktu dan giat berdakwah hingga berprestasi. Bukankah demkian yang sesungguhnya diinginkan perguruan tingggi Islam?
Bersamaan dengan itu, Abdul Aziz sukses memaparkan disertasinya dan mendapat nilai memuaskan dengan judul “Konsep Milk Al-Yamin: Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” Ia berpendapat bahwa disertasi ini dapat menjadi alat untuk melawan kriminalisasi zina. Zina, sebuah kemaksiatan besar dan menjijikkan yang dikasihani oleh Abdul Aziz. Setelah mendapat pertentangan ia lalu meminta maaf dan berjanji merevisi disertasinya, lalu mengadu karena keluarganya diteror akibat penghinaan syariat yang ia lakukan.
Bukankah cukup jelas, didalam Al-Qur’an Allah telah melarang untuk mendekati perbuatan zina. (“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk: Qs. Al-Isra: 32) Imam as-Sa’di dalam tafsirnya At-Taysir menjelaskan bahwa Allah menyifati zina dengan فاحشة yaitu perbuatan yang keji. Dosa yang dinilai buruk dalam syariat, akal dan fitrah (gharizah/naluri); karena kandungannya adalah pelanggaran atas keharaman didalam hak Allah, hak perempuan, hak keluarga perempuan atau suaminya, dan merusak tikar (kehormatan suami istri), mencampur aduk keturunan, dan keburukan-keburukan lainnya.
Seluruh perbuatan mendekati zina saja dihukumi haram, Abdul Aziz malah melawan dan meyakinkan bahwa perbuatan zina itu boleh saja. Malah berniat membantu memenuhi hak suara orang-orang yang mencintai kemaksiatan ini dengan jargon “melawan kriminalisasi zina”. Bagaimana bila dosen Syariah macam ini mengajarkan syariat yang halal jadi haram yang jelas haram jadi halal? Jelas! Rusak seluruh generasi muslim.
Perguruan Tinggi Islam sedang dilema dalam pandangan khalayak. Dosen Syariah yang menentang syariat dihargai, mahasiswa berperestasi dengan seluruh perjuangannya dijatuhi sanksi. Lembaga pendidikan Islam sedikit demi sedikit akan kehilangan kepercayaan, khawatir lulusannya menjadi seperti Abdul Aziz dan bila ada yang pandai macam Hikma Sanggala justru dibuang.
Ketidak adilan atau yang lebih layak disebut kedzaliman bagi para aktivis Islam seperti Hikma Sanggala mulai menjadi teror. Hukum yang dijatuhkan tanpa dasar kepada aktivis kampus tak lain bertujuan untuk menumpulkan daya kritik kaum muda terhadap rusaknya sistem hidup yang dianut dunia yaitu kepitalisme. Mahasiswa diminta untuk diam dan menerima dengan qonaah seluruh bentuk kebijakan pemerintah dan tunduk terhadap kondisi neo imperialisme oleh koloni-koloni Amerika dan China.
Bila ada mahasiswa-mahasiswa seperti Hikma Sanggala, cara paling ampuh adalah mengeluarkannya dari lembaga pendidikan, agar mahasiswa yang lain tak terkena pengaruh perlawanan terhadap sistem dzalim sebagaimana yang Hikma suarakan, yang oleh karenanya mahasiswa menjadi seperti singa yang hidup dan dibesarkan oleh kambing.
Disisi lain, pembenaran terhadap disertasi dosen liberal yang nyeleneh menjadi role model. Berharap para mahasiswa mencontoh karirnya, membela dan memperjuangkan kemaksiatan keji. Beginilah cara kampus untuk terus menumpuk sampah dengan bungkus akademis yang berusaha dipertahankan dengan berbagai argumen yang dipaksakan. Lalu masihkah pantas perguruan tinggi ini dinamakan Perguruan Tinggi Islam? Yang justru berisi para penentang syariat Islam?

Kamis, 11 Juli 2019

Daftar Tugas Presiden 2019: Tagihan Kursi Menteri dari Koalisi Jack MA



Nida Husnia Ramadhani

    Kericuhan pemilu telah berakhir, meninggalkan serpihan-serpihan misteri kematian yang tak juga terungkap kecuali melalui dugaan, sebab larangan otopsi terhadap mayat-mayat petugas KPPS. Kericuhan pemilu mau tak mau harus selesai, karna peserta aksi 22 Mei yang menuntut keadilan atas kecurangan hitung suara malah diusir dan dibunuh aparat.
    Rakyat mati, kehormatan dirinya tak lagi dilindungi. Suaranya tak lagi didengar. Jeritannya terdengar parau dan hilang. Serak, hampir putus urat leher menolak dipimpin oleh pedagang, yang dengan senang hati meng-investasikan segala sumber daya alam, tempat rakyat mencari makan. Namun tak ada lagi pilihan, sebab setelah menjabat benarlah ia terbang ke Jepang. Menghadiri KTT G 20 dan bicara investasi. Lalu kini menata jajaran menteri sesuai aturan pre order pihak-pihak yang memenangkannya. Tagihan datang dari partai politik, tak terkecuali ormas.
    Omong kosong ”dari, oleh, dan untuk rakyat” Lihat saja sedang sibuk apa pemerintah hari ini? Nasdem tuntut kursi menteri, NU dan PKB ingin terpisah dalam kementrian, Golkar mengingatkan agar tak lupa memberi kursi menteri juga, PDIP sudah menyodorkan calon menteri, PPP, Hanura, PSI, PKB, Perindo, dan semua penjilat yang berlutut minta jabatan. Kiranya menteri hanya sekedar nama, tak lebih. Karena tak bekerja kecuali untuk mengenyangkan perutnya sendiri. Bagaimana bisa menteri keuangan dipegang Sri Mulyani yang terus meningkatkan hutang negara atau calon menteri pemberdayaan perempuan yang suka menghina syariat macam Grace dari PSI.
    Lalu apalah arti keberadaan pemimpin? Ia justru dipermainkan orang banyak, belum lagi menanggung tanggung jawab terhadap hak-hak rakyat yang terbengkalai, belum juga melayani China dan AS, masih juga banyak janji yang dilanggar, sekarang malah ramai koalisinya menagih posisi menteri.
    Siapa yang masih ingin menjaga demokrasi? Kemurnian apa lagi yang mesti dicari? Bahkan Plato enggan berdemokrasi, katanya sistem negara demokrasi hanya akan melahirkan pemerintahan tirani. Sebab semua orang diberi kebebasan tanpa ada batas-batas yang mesti diperhatikan. Mustahil rakyat kecil bisa menyumbang suara kecuali hanya untuk memenuhi kotak suara pemilu. Sisanya? Terserah pebisnis dan pengendali kekuasaan. Lihat saja tambang minyak dan batu bara yang rakus dimiliki oleh seorang pejabat menteri maupun pejabat negara lainnya.
    Dalam demokrasi yang coba d islamisasi, sumpah jabatannya menggunakan al-Quran namun tak satupun hukum negara berbasis syariat, sudah pula berniat menghapus pelajaran agama dari sekolah. Demokrasi juga lihai mengedepankan urusan rakyat menjelang pemilu lalu kabur dan bilang, “Kok tanya saya? Ya bukan urusan saya”. Demokrasi sering diklaim berasal dari Islam. Padahal kedaulatan rakyat itu artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Bila suara rakyat disetarakan dengan suara Tuhan, lalu dimana kedaulatan Tuhan itu sendiri? Maka bohong, sebab Islam hanya mengajarkan ketundukan pada hukum Allah saja. Tuhan semesta alam.
    Dan pada akhirnya demokrasi pun berkhianat, yang disebut rakyat adalah rakyat yang ber-harta, ber-modal, ber-bisnis. Dominan hukum dibuat atas kesepakatan mereka, memeras rakyat dengan bungkus UU. Bila proses UU terlalu lama, segera saja dibuat PERPPU atau bisa juga dengan PERPRES.
    Curang, berebut jabatan, gonta-ganti kebijakan, sikut menyikut untuk kursi kekuasaan, itu hal biasa dalam demokrasi. Sehingga terbengkalainya urusan rakyat juga hal biasa dalam demokrasi, maka jangan heran bila tak ada yang mengurus kita hari ini, dan bila habis SDA yang jatuh ditangan asing dan swasta, dan jika angka pengangguran terus meningkat. Karena pak Joko dan mbah Amin sedang pusing mengatur barisan menteri.

Rabu, 30 Januari 2019

Meluruskan Sengketa POLITIK dan OLAHRAGA




Oleh: Nida Husnia Ramadhani

Komite Paralimpik Internasional (IPC) mencabut status tuan rumah negri Jiran, Malaysia di Kejuaraan Renang Difabel Dunia 2019 yang akan dilaksanakan pada 29 Juli - 4 Agustus mendatang sebab menolak parisipasi atlet-atlet Israel. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq Syed Abdul Rahman saat diwawancara pihak BBC HardTalk. Dalam kutipan wawancaranya ia mengatakan Malaysia menolak Israel atas alasan kemanusiaan setelah apa yang terjadi terhadap warga Palestina selama bertahun-tahun, dan secara tegas mengungkapakan “ Jika menjadi tuan rumah event internasional lebih penting daripada menjaga kepentingan saudara-saudari Palestina kami yang didzalimi berulang kali. Jika itu lebih penting, maka kami telah kehilangan kesadaran moral dan juga kompas moral”

PM Malaysia Mahathir Mohammad juga angkat bicara soal penolakan ini, “Kami punya hak untuk mengarahkan perasaan kami dan memilih kebijakan kami sendiri”

Pihak IPC mengaku kecewa terhadap sikap dan keputusan Malaysia yang dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap atlet negara tertentu, dan merupakan sikap yang tidak adil bila harus mencampurkan urusan politik dan olahraga.

Tak hanya IPC, Malaysia juga mendapat kecaman yang datang dari Partai Rakyat Sarawak Bersatu (SUPP). Melalui sekjennya, Datuk Bastian Ting mengungkapkan “Seharusnya olahraga itu diatas politik dan keputusan ini memiliki dampak pada citra Malaysia dan Sarawak selaku tuan rumah” Ia menambahkan “Ini merupakan keputusan politik. Padahal olahraga seharusnya dijauhkan dari politik”

Pemerintah merupakan jajaran penguasa yang memegang tampuk kekuasaan. Segala kebijakannya menjadi penting terhadap nama dan martabat negara yang didiaminya. Betapa kita tahu konflik Israel-Palestina masih belum menemui ujungnya. Sejak sekitar 1920 hingga kini, rakyat Palestina senantiasa mendapat siksaan fisik dan mental oleh bedebah Israel yang takut pada lemparan batu.
Tak dapat dipungkiri, sebagai sesama manusia utamanya sesama muslim pastilah wujud rasa empati minimal atas dasar kemanusiaan harusnya tumbuh. Berapa banyak mereka yang mengecam Israel tapi penguasanya telah disumpal oleh uang dan jaminan-jaminan kapitalistik oleh para kapitalis sehingga dunia diam tak bergerak.

Hari ini, bila kita mau berpikir sehat, pada hakikatnya Malaysia hanya melakukan tamparan kecil terhadap Israel dengan menolak keikutsertaan atletnya dalam ajang internasional. Malaysia tak hendak mengirimkan militernya ke tanah suci al-Quds atau mengirim bom fosfor untuk pasukan tentara Israel. Namun, dengan ini Malaysia telah dianggap berbuat diskriminasi dan telah ceroboh karena mencampur adukkan urusan politik dengan olahraga.

Bung, sudah berapa tebal rapor merah Israel dalam diskriminasi yang mereka lakukan terhadap warga Palestina? Berapa banyak jiwa yang terbunuh tanpa sebab pelanggaran hukum? Apakah karena kita dibodohi dengan makna politik sebagai panggung pembagian kekuasaan dan olahraga adalah kegiatan fisik, lalu keduanya tak punya korelasi?

Dalam sebuah buku berjudul Political Quotient, makna politik dijelaskan dalam pengertiannya secara bahasa bahwa politik merupakan serapan dari kata bahasa Inggris politic atau padanan katanya adalah policy, jauh sebelumnya diambil dari bahasa Yunani ‘polis’ yang dapat berarti kota atau negara-kota. Ensiklopedi digital wikipedia juga memberi definisi politik sebagai kata yang diambil dari bahasa Yunani untuk negara kota, polis.paling sering dipahami dala kaitannya dengan administrasi (pengaturan) pemerintahan. Dalam bahasa Arab kata politik berarti siyaasah yang diambil dari akar kata saasa yasuusu artinya mengatur.

Menurut syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam bukunya an Nidzam al Hukmi Fil Islam, siyasah/politik adalah pengaturan urusan rakyat/masyarakat/publik/ummat/bangsa, baik didalam maupun diluar negri dengan hukum-hukum tertentu dan dilakukan secara praktis oleh penguasa /pemerintah, dikontrol dan diawasi oleh rakyat/masyarakat/publik. Sehingga politik ini berkutat pada konsep penguasa (hukkam/sulthon); pengaturan urusan rakyat (riayah); penerapan aturan baik didalam maupun luar negri (tathbiq ahkam); dan koreksi serta kontrol rakyat (muhasabah)

Maka dari sini, event Kejuaraan Renang Difabel Dunia 2019 tentulah bukan sekedar event olahraga. Kembali mengacu pada makna politik sebagai pengaturan urusan rakyat baik didalam maupun luar negri, hal ini termasuk bagian yang diatur oleh politik. Tidak benar bila mengatakan bahwa urusan Palestina adalah perkara politik dan tidak berhak diikut andilkan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan pihak pemerintah negara dalam bidang olahraga dunia. Kali ini Israel yang ditolak bahkan menyebut Malaysia sebagai negara yang telah terkena paham fanatisme-anti semitis. Namun atas nama kemanusiaan, perlakuan Israel terhadap Palestina sesungguhnya lebih dari  sekedar deskriminasi.

Satu hal yang tertinggal dan tak hendak dibahas diatas panggung debat politik ini adalah posisi kita sebagai sesama ummat Muslim. Al-Qur’an telah jelas menuliskan bahwa setiap Muslim, Mukmin adalah saudara bagi Muslim yang lainnya (Qs. Al Hujurat :10). Dalam kamus Qur’an kata ikhwah memliki definisi sebagai ‘yang berserikat dalam kelahirannya’ atau bisa disebut sebagai saudara kandung. Tentulah siapapun ummat Muslim, dibelahan dunia manapun mereka berada, adalah saudara kandung kita. Begitu pun dalam kasus ini seharusnya hal utama yang mendasari keputusan Malaysia, bukan asas kemanusiaan, tapi ketetapan syariat yang mutlak kebenarannya.

Dalam demokrasi dengan sekuler-liberal nya agama seolah aktivitas ritual ibadah yang tak bersangkutan dengan urusan duniawi. Bertentangan dengan itu, Islam justru mengatur segala perkara kehidupan mulai urusan remeh temeh hingga membangun kehidupan politik. Sehingga agama (Islam) yang mempunyai seperangkat sistem aturan politik inilah yang coba dikerdilkan oleh ideologi kapitalisme. Ketakutan luar biasa akan bangkitnya Islam (sebagaimana sejarah menuliskan dengan tinta emasnya akan mampu menguasai 2/3 dunia seperti sedia kala) menjadikan kapitalisme bersusah payah membongkar pasang macam-macam perangkat aturan yang dibuatnya sendiri.

Bersandar pada HAM dan kebebasan berekspresi, entah mengapa demokrasi justru mematikan rasa kemanusiaan itu sendiri. Para pegiat LGBT selalu diatas namakan HAM dan bebas mengutarakan pendapatnya, namun bagaimana dengan negara konflik yang dibumi hanguskan tanpa dosa? Bahkan membelanya saja malah di judge fanatik anti semitisme. Inilah demokrasi yang senantiasa engkau puja dan puji.




Jumat, 18 Januari 2019

Pudarnya Pesona Negara Agraris

Oleh: Nida Husnia Ramadhani

Mediaoposisi.com- Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman”. Jangan tanya berapa ribu ton panen di ladang petani. Jangan tanya seberapa subur tanah yang bisa ditanami bibit tumbuhan. Jangan tanya seberapa tekun para petani menggarap ladangnya.

Negeri  agraris ini terus menerus membunuh buminya sendiri. Jeritan parau para petani dianggap angin lalu, sedang pemerintah malah membuka keran  impor sederas-derasnya. Dengan alasan tingginya kebutuhan konsumsi para pengusaha ternak, pemerintah mengambil langkah impor jagung sebesar 100 ribu ton dan akan ditambah 30 ribu ton untuk Maret 2019 mendatang. (tirto.id)

Jagung saja tak cukup, ekonom dan politikus Indonesia Faisal Basri mengkritik kebiasaan impor pemerintah RI dalam cuitan twitternya. Faisal Basri mengatakan Indonesia berada di rangking 1 dengan impor 4,45 juta metrik gula selama 2017/2018 bahkan melebihi impor gula China dan AS. (cnbcindonesia.com)

Disisi lain pada November 2018 lalu, panen jagung mengalami surplus sebesar 12, 9 juta ton dan diprediksi surplus 6 juta ton pada 2019. Hal serupa juga menimpa surplus gula pada Juli 2018 sebesar 2,4 juta ton. (katadata.co.id)

Ketimpangan produksi dan impor ini terus menerus terjadi. Seolah kita adalah negri yang amat kaya dan tanahnya tak subur untuk ditanami, padahal dengan tanggungan hutang luar negri sampai pada akhir September 2018 terhitung 5.371 trilyun pemerintah justru menghambur-hamburkan uang dalam impor bahan pangan ini.

Apalagi predikat negri agraris dan heaven earth telah disandang Indonesia, namun  negri Garuda yang mempunyai luas lahan 8,19 juta hektare pada 2016 terus mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan menjadi 7,75 juta hektare di 2017 dan semakin turun menjadi 7,1 juta hektare pada 2018. Lagi-lagi  para penguasa mana peduli nasib rakyat, karena nyatanya impor ini tak kemudian mengangkat kualitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Yang terjadi justru memperlebar ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin.

Legalisasi impor memang sudah termaktub dalam undang-undang sejak tahun 1995 tentang kepabeanan, kini UU impor semakin diperkuat dengan adanya revisi salah satunya UU impor jagung yang direvisi pada tahun 2018. Jagung bisa diimpor untuk kebutuhan pangan, pakan, dan baku industri.

Bila kita mau berpikir, sederhana saja. Impor selalu dilakukan terhadap bahan pangan dasar seperti padi, jagung, gula, dll lalu akibat yang terjadi selanjutnya adalah surplus bahan pangan tersebut, parahnya pemerintah tetap ngotot dan bahkan menaikkan besaran impor, sedang para petani jelas mengalami kerugian besar-besaran. Jadi, kepada siapa sesungguhnya pemerintah berpihak?

Terlalu banyak alasan dan kebohongan yang diciptakan atas nama demokrasi. Dari, oleh dan untuk rakyat telah mati tidak berfungsi. Asas kebebasan yang menjadi tumpuan demokrasi meniscayakan segala bentuk amandemen perundang-undangan dengan menjadikan rakyat sebagai tameng dan hujjah kuatnya.

Menduduki kursi parlemen demi mensejahterahkan rakyat hanya omomg kosong. Terlalu banyak jajaran wakil rakyat dan penguasa yang diam seribu bahasa saat rakyat datang untuk menuntut haknya, tapi menghamba suara rakyat saat masa-masa pemilu tiba.

Tak ada lagi cerita kail dan jala cukup menghidupimu, karena bertahan dalam demokrasi seperti mengharap oase digurun pasir. Indonesia juga tak lagi hijau, karena hijaunya telah banyak dieksploitasi oleh tangan-tangan rakus elit. Benarkah kita selalu terjebak oleh buaian janji-janji setiap kampanye? Dan terus terjebak oleh visi-misi capres cawapres setiap periode berganti?[MO/sr

Minggu, 04 November 2018

Suramnya Wajah Pendidikan Indonesia di Tahun Politik


https://www.mediaoposisi.com/2018/11/suramnya-wajah-pendidikan-indonesia-di.html

Oleh : Nida Husnia Ramadhani
(Aktivis Mahasiswa)

Mediaoposisi.com- Tahun politik bersemi. Segala bentuk persiapan kampanye mulai dilancarkan para caleg dari berbagai parpol demi mendapatkan posisi di hati rakyat. Janji-janji pun di obral, jaminan kesehatan, pangan, kesejahteraan ramai digembor-gemborkan. Terlebih lagi hal itu dilakukan oleh dua kubu capres-cawapres mengingat momen Pemilu semakin dekat.

Termasuk RI1 Joko Widodo bersama jajarannya yang akhir-akhir ini sibuk bekerja, merangkul masyarakat sebagai bekal kampanye di kemudian hari. Mulai dari blusukan, ke pasar-pasar, meng-gratiskan biaya tol Suramadu, menciptakan isu-isu mobil esemka, menggandeng ulama dan lain sebagainya.

Namun sayang sekali, bersamaan dengan besarnya upaya membangun citra diri, Istana Negara justru digeruduk ribuan guru honorer yang hendak menagih janji-janji Jokowi. Aksi tersebut dilaksanakan sejak 30 Oktober diseberang Istana, karena belum mendapat respon maka aksi dilanjutkan keesokan harinya sampai para peserta aksi bermalam didepan Istana Negara.

Ketua Forum Honorer K2 Indonesia Titi Purwaningsih mengatakan aksi ini dilakukan untuk menuntut janjiJokowi pada Juli lalu yang sempat diungkapkannya dalam agenda Asosiasi Pemerintah Daerah untuk segera mengangkat guru honorer yang telah berpuluh tahun mengabdi dan tak juga diangkat menjadi PNS. Terlebih lagi, Jokowi berjanji menyelesaikan permasalahan guru honorer ini sejak 2014. (detik.com)

Mirisnya, pada hari ketika Jokowi dibesuk ribuan guru honorer itu, ia malah meninjau posko evakuasi Lion Air dan blusukan ke pasar Bogor untuk cek harga sembako.. Pihak negara juga tak memberikan jaminan apapun sehingga peserta aksi pulang dengan tangan kosong.

Indonesia telah tertinggal 107 peringkat dari negara-negara ASEAN lainnya. Deutsche Welle mengeluarkan data pada 2017 yang menyebutkan bahwa hanya ada 44% anak bangsa yang menuntaskan pendidikan menengah, 11% gagal melanjutkan sekolah, dan sisanya? Tak mengenyam pendidikan. (news.okezone.com)

Begitu beratnya realita ini bagi para guru. Terlalu banyak jumlah anak bangsa yang tak bisa bersekolah, padahal pendidikan adalah modal utama dalam menjalankan aktifitas di masa mendatang, apalagi kita semakin terdesak perkembangan zaman. Sehingga banyak juga program mengajar bermunculan, relawan guru, termasuk guru honorer  yang dibutuhkan banyak sekolah.

Guru tak sekedar mengajar, ia juga menjadi motivasi belajar para siswa. Ia juga menjadi figur yang akan dicontoh para siswa. Ia pun mendidik karakter para siswa dengan style nya masing-masing. Maka pantas bila ia dilabeli “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Seharusnya sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan para guru. Bagaimana tidak? Amanah yang dibebankan pada bahunya sungguh berat, namun ia masih harus menaggung beratnya pengkhianatan jaminan kesejahteraan hidup.

Hari ini negara tak mampu menghargai jasa guru, padahal jajaran penguasa juga lahir dari didikan para guru. Saat ribuan guru honorer mendatangi Istana Negara untuk menuntut haknya, yang terjadi malah mereka diabaikan. Tak diberikan keputusan apapun, malah ditinggalkan sibuk membangun citra diri.

Tak perlu menunggu puluhan tahun untuk melihat betapa hancurnya Indonesia. Dalam hitungan hari, sudah banyak problematika negri yang bermunculan. Terlebih lagi masalah yang sangat pokok yaitu pendidikan.

Saat pemerintah gagal menjamin kesejahteraan guru, jangan salah bila kemudian kita menyaksikan fakta buta huruf terjadi di banyak daerah pelosok. Sarjana-sarjana pendidikan pun sangat mungkin menjadi tidak berguna, tak hendak mengambil profesi guru karena takut dirinya juga akan menjadi korban abainya pemerintah. Lelah mengajar, dan jasanya tak di-harga-i.

Lagi-lagi penguasa tak malu menunjukkan kelihaian nya ‘kabur’ dari masalah demi masalah. Tuntutan rakyat tak pernah dipenuhi, namun mengemis suara rakyat saat kampanye tiba. Selamat jalan Indonesia, bila terus begini, negri ini akan semakin tergerus kebodohan dan pembodohan.[MO/sr]

Selasa, 25 September 2018


Hari Tani dan Air Mata Pertiwi
Oleh : Nida Husnia R (Aktivis Mahasiswa)

    24 September mengingatkan kita pada sebuah putusan UU no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria oleh Presiden RI pertama Soekarno, lalu ditetapkan hari itu sebagai peringatan Hari Tani Nasional.
    Pasal pertama menjelaskan bahwa air, bumi, dan ruang angkasa adalah karunia Tuhan dan menjadi kekayaan nasional. Oleh karenanya, pasal 2 menyebutkan bahwa penguasaannya berada ditangan negara. Hal itupun semakin diperjelas dengan bunyi pasal ke 13 yang menyatakan :
“Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat...”
    24 September 2018, dalam peringatan ini sejumlah petani dan buruh di Jakarta turun aksi menuntut hak-hak hidupnya di dekat Istana Negara. Ketua Persatuan Perjuangan Rakyat, Herman Abdulrohman mengungkapkan kekecewaan terdalamnya terhadap  negara yang telah kehilangan perannya dalam menyejahterakan rakyat. Pemerintah juga dengan senang hati  memperlebar pintu kerjasama dengan pihak pemodal asing yang akan terus menerus mengancam jaminan kesejahteraan rakyat kecil.
    Mereka juga menuntut agar negara menghentikan segala tekanan terhadap rakyat seperti penerapan reforma agraria (kebijakan penyatuan tanah, dll) dalam program sertifikasi tanah yang seharusnya sertifikasi itu menjadi kewajiban negara. Juga terhadap lambatnya kinerja rezim Jokowi yang tak kunjung menyelesaikan sengketa tanah di pulau Sangiang, Banten.
    Tak hanya di Jakarta, ratusan petani di Lamongan pun melakukan aksi serupa di depan Masjid Agung Lamongan. Para peteni ini melakukan teatrikal dan menggelar spanduk : Selamat Hari Tani #24sept2018 Ayo...Proteksi Petani Kita. Mewujudkan Kesejahteraan Petani Melalui Perda Perlindungan Petani” (detik.com)
    Tak cukup sampai disitu, mahasiswa juga mengambil bagian dalam pembelaan terhadap rakyat cilik utamanya para petani. Barisan mahasiswa yang tergabung dalam BEM Raya NTB meminta agar pemerintah meminimalisir impor bahan pangan, meningkatkan produktivitas dan daya saing petani lokal. Namun aksi mereka tak mendapat respon baik dari pihak DPRD NTB karena tak satupun anggotra dewan yang menemui mahasiswa. (mojok.com)
    Segala tuntutan dan amarah rakyat sudah berada di ambang batas. Pasalnya, negara tak lagi berfungsi sebagai penjamin atas kemakmuran hidup rakyatnya. Terus menjadi boneka yang tak sadar dipermainkan dengan kenaikan dollar sehingga rupiah anjlok total. Negara terikat dengan beragam perjanjian kerjasama dan hutang, yang semakin mencekik ekonomi Indonesia dan menjadikan rakyatnya sebagai korban.
Hal ini jelas disebabkan oleh sistem kapitalis yang meniscayakan orang-orang ber-uang bisa membeli segalanya termasuk SDA dan fasilitas umum. Di Indonesia, kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin begitu tinggi. Hal ini pernah diungkapkan Abraham Samad, Ketua KPK 2011-2015 pada Maret 2018 bahwa 1% orang kaya di Indonesia menguasai 49% kekayaan negara.
Abraham juga mengungkapkan data yang dikutip dari World Bank dimana Indonesia menempati posisi ke 7 sebagai crony capitalism (kesuksesan bisnis yang diperoleh dari hubungan dekat antara pengusaha dengan penguasa) tertinggi sedunia. Sehingga klaim pertumbuhan ekonomi yang digencarkan pemerintah hanya nama lain dari kesejahteraan 20% orang terkaya di Indonesia.
Betapa jahatnya kapitalisme menyiksa dan mempermainkan rakyat. Segala kebijakan yang dibuat pemerintah dengan bersandar pada kapitalisme tak akan pernah berpihak pada kepentingan rakyat dan tak jua mengangkat martabat negara. Kini, negara sejatinya telah membunuh rakyatnya dengan kemiskinan dan budaya konsumtif.  Terus bergantung pada hutang luar negri dan terlunta mencari sesuap nasi.
Apa arti sebuah negri agraris, bila hijaunya alam telah terbeli secara pribadi. Dan di  Hari Tani Nasional, kami justru terluka dan menangis.

Baca Opini

Festival HAM Jember

Hari ini Jember mjd tuan rumah dlm agenda yg d beri judul "Festival HAM" dan terdiri dari beberapa sesi diskusi. Tepatnya pd p...